Ibarat burung mata terlepas badan terkurung, ibarat insan kota fikir merusuh mulut terkatup. Engkau bangun pagi, bilik masih gelap tapi tempikan kereta bersimpang siur dan riuh pasar malam berdentang-dentang di gendang telinga. Sepatutnya langit cerah, ternyata hanya tingkap tertutup dan bunyi tadi datang dari sebuah kota yang terpuruk dalam kepala engkau yang belum pagi seperti sekarang.
Ibarat burung mata terlepas badan terkurung, engkau fikir “waima seekor burung tidak akan menggambarkan kematiannya, dalam dunia sangkarnya biarlah keterujaan itu lopong untuknya mencari hujung pangkal ajalnya sendiri, sekurang-kurangnya keterujaan tidak membunuh jiwanya setakat ini.”
Engkau menggoncangkan kepala mengandaikan wayar fikir engkau menyelirati pilar memori nan berselerak, tapi itu cuma perasaan engkau saja. Hakikatnya kota yang kononnya aman dalam kepala engkau mulai retak menanti hancur, rakyat di dalamnya meluru keluar merusuh dan berteriakkan. “Engkau tidak layak jadi pemimpin kami!” Mereka melemparkan batu, kayu termasuk membakar poster dan sepanduk berwajah engkau yang senyum tulus sebelum ini, asap berjelaga memenuhi tengkorak sehingga engkau rebah dan mata terjegil, engkau cuba beretorik dengan mengatakan “saya mempunyai DNA pemimpin!”
Kemudian engkau bertongkat-tongkat dengan dalil agama, tetapi skeptikal andai mereka tidak mendalami batin agama seperti mana engkau, ragu-ragu andai zahir tafsiran mereka bersimpangan dan menujah tafsiran engkau. Menolak tafsiran tidak menjadikan mereka kurang beragama, mereka hanya menyanggah pemikiran dalam tafsiran dan bukan menolak agama itu sendiri. Tafsiran engkau mungkin peribadi walau engkau punya autoriti tetapi engkau perlu berundur seketika, menerkup pemikiran mereka memungkinkan engkau dilihat sebagai pemimpin tirani. “Every step that I take is another mistake to you,” nafas kekalutan engkau menderu-deru bersama kata Chester Bennington.
“Manusia mencipta kekalutan dalam diri mereka sendiri,” salah seorang perusuh yang luka di tubir bibirnya bercakap dalam hati tapi engkau dapat dengar. Engkau rasa malu lalu pergi mencuci muka, tapi di cermin adalah wajah-wajah engkau yang tidak tenang, dan engkau rasa itu wajah orang lain. Engkau cuba mengatur rupa seperti semalam yang damai, bila engkau berjalan ke bilik segala mozek engkau menapak bergentanyangan, segala gambar yang engkau pandang menunduk, setiap suis yang engkau ketik lampu neonnya terpadam tiba-tiba. Engkau dilumuri kegelapan, tubuh terasa lembap dan lemah tanpa rasa kantuk lalu engkau membuka botol ubat dan menelan beberapa biji pil jenis benzodiazepine sebagai liburan menenangkan insomnia yang engkau syak dari tadi tanpa menghiraukan preskripsinya. Engkau mengatup mulut dengan sapu tangan cuba menghilangkan desah dan berharap esok kekalutan yang engkau terciptakan ini menyingsing aman. Engkau serahkan nasib kepada esok dan berhenti memikirkan sesuatu yang tidak pasti seperti kiasan burung tadi – too much curiousity kills you. Rakyat dalam kepala engkau mulai tertidur dan engkau mengharapkan penerimaan mereka semula esok. Engkau menyayangi mereka dan mahu mereka memandu kereta dan berjual beli di pasar malam seperti sedia kala.
Engkau terjaga awal melangkaui kesan ubat semalam, engkau berjalan mengheret senyum sambil membuka tingkap, kehangatan mendakap erat tubuh engkau seperti seorang kekasih yang telah mati merindui engkau semalam, tapi itu semalam dan engkau tidak merasai lagi kehangatan itu, engkau tidak kenal mentari waima orang-orang yang berjalan di koridor. Semalam tragedi yang membawa engkau seperti kehilangan diri sendiri hari ini. Kehilangan yang melukakan definisi tragedi dalam kepala engkau dan itu tidak sempurna, lalu engkau bertanya, “apa ada pada kesempurnaan untuk sesuatu yang tragik?”
Jika kehidupan itu tragik, menamatkan kehidupan adalah penghinaan yang nyata andai tidak bagi kita, bagi diri mereka. Bak kata Chester Bennington semalam,“every step that I take is another mistake to you”.
Pagi masih panjang, engkau nyalakan sumbu sigaret sambil memikirkan betapa suntuknya masa untuk larut dalam kecanduan tragik dan hinaan di depan mata engkau seperti asap yang mengepul pandangan engkau sekarang. Lighter di tangan masih menyala apinya, engkau menyeringai terkenangkan kata-kata akhir Chester – “and every second I waste is more than I can take!” Sigaret lebur dijari, api terpadam sendiri – perusuh dalam kepala engkau semua sudah mati.
Gambar ehsan Morning Brew di Unsplash
We accept short stories, poems, opinion pieces, and essays on a complimentary basis.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.